Berdasarkangambar diatas, bentuk atap tumpang pada masjid merupakan hasil akulturasi budaya Islam dalam bidang. Berikut jawaban yang paling benar dari pertanyaan: Perhatikan gambar dibawah ini! Berdasarkan gambar diatas, bentuk atap tumpang pada masjid merupakan hasil akulturasi budaya Islam dalam bidang
Masjid Aceh merupakan salah satu masjid kuno di Indonesia." Wujud akulturasi dari masjid kuno seperti yang tampak pada gambar memiliki ciri sebagai berikut: Atapnya berbentuk tumpang yaitu atap yang bersusun semakin ke atas semakin kecil dari tingkatan paling atas berbentuk limas. Jumlah atapnya ganjil 1, 3 atau 5.
Bentukcandicandi di Indonesia pada hakikatnya adalah punden berundak yang merupakan unsur Indonesia asli. Candi Borobudur merupakan salah satu contoh dari bentuk akulturasi tersebut. Candi Borobudur 2. Bidang Kesenian a. Seni Rupa dan Seni Ukir Masuknya pengaruh India juga membawa perkembangan dalam bidang seni rupa, seni pahat, dan seni ukir.
Pada perkembangan budaya Islam di Indonesia, terjadi akulturasi budaya pra-Islam dan budaya Islam dalam berbagai bentuk, antara lain seni bangunan, seni ukir atau seni pahat, kesenian, seni sastra dan kalender. Mengutip Sumber Belajar Kemdikbud RI, seni bangunan dan arsitektur Islam di Indonesia bersifat unik dan akulturatif.
Jawaban C. Seni bangunanDilansir dari Encyclopedia Britannica, perhatikan gambar dibawah ini! berdasarkan gambar diatas, bentuk atap tumpang pada masjid merupakan hasil akulturasi budaya islam dalam bidang seni bangunan.
Masjidini merupakan hasil perpaduan antara islam-jawa dengan hindu-buddha yang terletak pada bentuk bangunan utama masjid. Dimana ada tujuh lambang teplok dengan atap berbentuk tumpang tiga. Akulturasi dalam bidang ini dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari yang mana sangat mudah untuk kita amati dan pahami bersama. Di era
AspekSosial Budaya Dalam Arsitektur - Masjid Di Kesultanan Demak Sebagai Cerminan akulturasi Budaya Jawa Hindu Buddha Dengan Budaya Islam _____ _ MASJID DI KESULTANAN DEMAK SEBAGAI CERMINAN AKULTURASI BUDAYA JAWA HINDU BUDDHA DENGAN BUDAYA ISLAM Kasus Studi : Masjid Menara Kudus Lano Hapia Penta Surel : lano_hapia@ : Agama Islam dan budayanya masuk ke Indonesia mulai pada
Bangunanbangunan masjid di Indonesia terbilang unik karena memadukan berbagai budaya yang saling mempengaruhi atau disebut sebagai akulturasi. Dirangkum detikTravel dari berbagai sumber, Selasa (28/4/2020) inilah sejumlah masjid di Indonesia yang mencerminkan akulturasi pada bangunannya. 1. Masjid Agung Demak. Foto: (Kurnia/detikTravel)
cv3H1RO. Acculturation is the process of mixing or merging two different cultures into one new culture. One example of cultural acculturation is found in the architecture of Kasimuddin mosque located in Tanjung Palas, Bulungan Regency, North Kalimantan has a unique architectural form. This mosque is often known as the sultan's mosque because this mosque was built during the Bulungan Sultanate. The existence of this mosque is included in the Bulungan government's cultural tourism project plan. In addition to having a local cultural character, the architecture of this mosque is also influenced by other cultures. This research aims to examine cultural acculturation in the architecture of Kasimuddin Mosque. In addition, it is expected that this writing can be one of the references for the implementation of the next mosque restoration and the beginning of the next stage of research development. The research method used is qualitative method. With the form of data collection through field surveys, interviews, and some references from journals. This research was conducted on the Kasimuddin Mosque building. This mosque became one of the artifacts of the Bulungan sultanate and currently still serves as a place of worship as well as a cultural object. Various cultures influence the architecture of the mosque, including Javanese, Sumatran, Betawi, Malay, and European cultures. The occurrence of cultural acculturation because it is located in a coastal area where the area becomes a meeting place between nations. Therefore it is not surprising that in the Bulungan area there is acculturation of different cultures. Kasimuddin Mosque is one example of the result of cultural acculturation. As a cultural heritage building is expected to always be maintained, and considered both by the local government and the local community. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free JURNAL PATRA ISSN 2684-947X E-SSN 2684-9461 2022 Publishing LPPM Institut Desain dan Bisnis Bali AKULTURASI BUDAYA PADA ARSITEKTUR MASJID KASIMUDDIN DI BULUNGAN, KALIMANTAN UTARA Afifah Nurul Jihad1, Agus Dody Purnomo2 1,2 Desain Interior, Fakultas Industri Kreatif, Universitas Telkom e-mail afifahjihad agusdody Received Februari, 2022 Accepted April, 2022 Publish online Mei, 2022 Acculturation is the process of mixing or merging two different cultures into one new culture. One example of cultural acculturation is found in the architecture of Kasimuddin mosque located in Tanjung Palas, Bulungan Regency, North Kalimantan has a unique architectural form. This mosque is often known as the sultan's mosque because this mosque was built during the Bulungan Sultanate. The existence of this mosque is included in the Bulungan government's cultural tourism project plan. In addition to having a local cultural character, the architecture of this mosque is also influenced by other cultures. This research aims to examine cultural acculturation in the architecture of Kasimuddin Mosque. In addition, it is expected that this writing can be one of the references for the implementation of the next mosque restoration and the beginning of the next stage of research development. The research method used is qualitative method. With the form of data collection through field surveys, interviews, and some references from journals. This research was conducted on the Kasimuddin Mosque building. This mosque became one of the artifacts of the Bulungan sultanate and currently still serves as a place of worship as well as a cultural object. Various cultures influence the architecture of the mosque, including Javanese, Sumatran, Betawi, Malay, and European cultures. The occurrence of cultural acculturation because it is located in a coastal area where the area becomes a meeting place between nations. Therefore it is not surprising that in the Bulungan area there is acculturation of different cultures. Kasimuddin Mosque is one example of the result of cultural acculturation. As a cultural heritage building is expected to always be maintained, and considered both by the local government and the local community. Keywords Acculturation, Culture, Mosque, Kasimuddin Akulturasi merupakan proses percampuran atau penggabungan dua budaya yang berbeda menjadi satu budaya baru. Salah satu contoh akulturasi budaya terdapat pada arsitektur masjid Kasimuddin yang terletak di Tanjung Palas, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara memiliki bentuk arsitektur unik. Masjid ini sering dikenal dengan sebutan masjid sultan karena masjid ini dibangun pada masa kesultanan Bulungan. Keberadaan masjid ini masuk kedalam rencana proyek pariwisata budaya pemerintah Bulungan. Selain memiliki karakter budaya lokal, arsitektur masjid ini juga dipengaruhi oleh budaya lain. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji akulturasi budaya pada arsitektur Masjid Kasimuddin. Selain itu, diharapkan tulisan ini dapat menjadi salah satu referensi untuk pelaksanaan restorasi masjid berikutnya dan tahapan pengembangan penelitian berikutnya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Dengan bentuk pengumpulan data melalui survei lapangan, wawancara, dan beberapa referensi dari jurnal. Penelitian ini dilakukan pada bangunan masjid Kasimuddin. Masjid ini menjadi salah satu artefak peninggalan kesultanan Bulungan dan saat ini masih berfungsi sebagai tempat ibadah sekaligus objek budaya. Berbagai budaya mempengaruhi arsitektur masjid, antara lain budaya Jawa, Sumatera, Betawi, Melayu, dan Eropa. Terjadinya akulturasi budaya karena terletak di daerah pesisir di mana daerah tersebut menjadi tempat pertemuan antar bangsa. Sehingga tidak mengherankan jika di daerah Bulungan terdapat akulturasi budaya yang berbeda. Masjid Kasimuddin adalah salah satu contoh hasil akulturasi budaya. Sebagai bangunan cagar budaya diharapkan selalu dijaga, dan diperhatikan baik oleh pemerintah daerah dan masyarakat setempat. Kata Kunci Akulturasi, Budaya, Masjid, Kasimuddin PENDAHULUAN Akulturasi adalah proses penggabungan atau penyatuan dua budaya yang saling bertemu dan saling mempengaruhi satu sama lain. Prosesnya terus berkesinambungan melalui komunikasi antara pendatang dengan lingkungan sosio budaya setempat. Akulturasi ini menghasilkan budaya baru tanpa menghapus budaya yang ada sebelumnya Mulyana, 2006; Ayuningrum, 2017. Budaya baru ini akan menambah keberagaman dan kekayaan budaya dalam satu daerah. Akulturasi budaya sangat memungkinkan terjadi di Nusantara khususnya di Kalimantan dikarenakan terletak di jalur perdagangan dunia. Pada abad ke 7 aktifitas perdagangan bangsa Arab sudah berlangsung dengan rute yang menghubungkan Laut Tengah dengan Cina. Rute pelayaran dan perdagangan Arab - Persia - India - dunia Melayu - Tiongkok. Kedatangan bangsa lain tersebut di Nusantara untuk berdagang dan berinteraksi dengan masyarakat setempat. Selain berdagang, mereka juga menyebarkan agama Islam sehingga tidak menutup kemungkinan terjadinya akulturasi budaya. Hal ini seperti yang terjadi di daerah Bulungan, Kalimantan Utara dimana jejak kedatangan mereka bisa dilihat dari makam ulama yang bernama Sayyid Ahmad Maghribi di Salim Batu. Ulama tersebut diyakini berasal dari Arab Maroko Rahmadi, 2020; Sadono, 2020. Salah satu hasil akulturasi budaya yakni arsitektur masjid. Masjid merupakan tempat beribadah bagi umat muslim. Masjid di Indonesia sangat kental dengan pengaruh budaya berbagai suku di tanah air. Selain untuk beribadah, masjid juga sering digunakan untuk berbagai aktivitas bagi umat muslim. Kegiatan – kegiatannya antaralain pengajian, kegiatan berdakwah, dan acara keagamaan lainnya. Masyarakat juga memanfaatkan masjid sebagai tempat upacara pernikahan atau dalam Islam dikenal dengan akad nikah. Pada intinya perkembangan fungsi masjid sebagai tempat pembinaan, pengajaran, praktik sosial, pengamanan, dan benteng pertahanan umat Islam sehingga fungsinya mencakup pengertian sosial, budaya, dan politik Barliana, 2008. Sedangkan bentuk arsitektur masjid di Indonesia juga beragam sesuai dengan daerahnya dan budaya yang mempengaruhinya. Tidak heran jika dalam perkembangannya, masjid di Nusantara memiliki keragaman bentuk yang mencerminkan akulturasi budaya di dalamnya Sadono, 2020. Masjid Kasimuddin adalah salah satu masjid besar yang terletak di Tanjung Palas, kota Bulungan. Masjid ini merupakan salah satu peninggalan penting dari kebudayaan dan kesultanan Bulungan. Masjid tersebut mulai dibangun pada tahun 1897. Kemudian mulai diperbesar saat pemerintahan kesultanan dipegang oleh Sultan Maulana Muhammad Kasimuddin 1901-1925. Dan akhirnya masjid ini juga dikenal dengan nama masjid Kasimuddin. Masjid Kasimudin berdiri di atas tanah seluas 2500 m2. Saat ini, arsitektur masjid Kasimuddin masuk dalam proyek pemerintahan Kalimantan Utara. Dan terdaftar sebagai peninggalan budaya dan warisan Kesultanan Bulungan. Nama Bulungan’ merupakan nama salah satu suku yang bermukim di Kalimantan Utara. Suku tersebut adalah suku dengan ras Melayu yang kental. Pengaruh budaya Melayu dari Brunei Darussalam dan Malaysia Rahmadi, 2020. Sementara ada teori lain juga yang menyatakan bahwa pengaruh budaya Islam dibawa oleh bangsa Thailand, Laos, Kamboja dan negara sekitarnya Rifani, 2014; Kumayza, 2014. Tujuan penelitian ini untuk mengkaji lebih lanjut tentang akulturasi budaya yang terdapat pada arsitektur masjid Kasimuddin. Akulturasi budaya yang ditampilkan melalui elemen arsitektur dan interiornya memiliki keunikan yang berbeda dengan masjid-masjid pada umumnya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam mengenal keragaman bentuk arsitektur masjid di Nusantara. Selain itu juga dapat menjadi tahapan awal untuk pengembangan penelitian berikutnya. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah metode penilitian kualitatif. Metode ini terdiri atas pengumpulan data melalui survei dan wawancara. Data primer diperoleh melalui survei lapangan dan wawancara dengan pengelola masjid. Sedangkan data sekunder diperoleh dari jurnal ilmiah, makalah seminar, buku literatur cetak maupun elektronik. Data yang sudah diperoleh kemudian dianalisis, kemudian ditarik kesimpulan. Lokasi penelitian dilaksanakan di komplek Masjid Kasimuddin yang terletak di jalan Kasimuddin, Tanjung Palas, kabupaten Bulungan, provinsi Kalimantan Utara. Bangunan berdiri di atas tanah dengan luas 2500 m2 dan bangunan memiliki ukuran 19 x 19 m2. Gambar 1. Arsitektur Masjid Kasimuddin [Sumber Dokumentasi Afifah,2021] HASIL DAN PEMBAHASAN Masjid Kasimuddin merupakan masjid peninggalan Kesultanan Bulungan sehingga pada arsitektur dan interior bangunannya banyak ditemukan unsur-unsur budaya yang kental di Bulungan. Bangunan Masjid ini menggunakan material kayu ulin baik pada struktur bangunan maupun elemen interior. Saat ini, Masjid ini menjadi salah satu proyek pengembangan Pemerintah Daerah Bulungan. Proyek ini direncanakan menjadi salah satu potensi pariwisata budaya di Kalimantan Utara. Akulturasi Budaya pada Arsitektur dan Interior Masjid Bentuk atap masjid Kasimuddin merupakan atap tumpang limasan dengan kubah pada bagian puncaknya. Seperti pada umumnya bentuk atap masjid di Nusantara yang memiliki bentuk tingkatan. Selain itu juga bermahkota wuwungan atau bubungan dari bahan terakota maupun jenis bahan yang sama dengan bahan atapnya. Namun pada masjid ini menggunakan mahkota kubah yang merupakan ciri khas dari masjid Timur Tengah. Bentuk atap tumpang mengingatkan kepada bentuk Meru gunung yang biasanya dikenal dalam budaya pra Islam misalnya masjid Agung di Demak dan masjid Sang Cipta Rasa di Cirebon. Material kubah masjid adalah alumunium sedangkan atapnya menggunakan material sirap kayu ulin. Sirap kayu ulin merupakan material yang umum digunakan di provinsi Kalimantan Utara karena merupakan komoditi yang banyak tersebar di Kalimantan utara. Namun, material ini saat ini sudah jarang digunakan karena harganya mahal baik untuk pembuatan maupun pemeliharaannya. Gambar 2. Tampak Atap Masjid Kasimuddin [Sumber Dokumentasi Afifah, 2021] Bagian tengah bangunan terdapat empat tiang utama soko guru sebagai penyangga utama atap. Selain soko guru terdapat juga tiang-tiang pendukung berjumlah 12 yang tingginya lebih pendek dibandingkan soko guru. Keberadaan soko guru dan soko pendukung mengingatkan pada bentuk-bentuk bangunan pendopo pada arsitektur pra Islam. Gambar 3. Empat soko guru pada Masjid Kasimuddin [Sumber. Dokumentasi Afifah, 2021] Pengaruh Jawa merupakan salah satu bukti bahwa adanya hubungan diplomasi antara kesultanan Bulungan dengan kesultanan Yogyakarta. Sementara lampu yang digunakan pada masjid dengan jenis chandelier merupakan lampu antik yang merupakan pengaruh budaya Eropa Belanda. Bangunan Masjid Kasimuddin ditopang oleh 16 tiang soko dengan material kayu ulin. Dan dari awal pembangunan tidak pernah diganti dikarenakan begitu kuat material tersebut. Kayu ulin ini sangat kuat dan dapat bertahan sampai puluhan tahun. Kayu tersebut banyak tersebar di Kalimantan Utara dan sangat umum digunakan pada bangunan-bangunan tradisional di Kalimantan Utara. Gambar 4. Kayu ulis sebagai tiang penyangga masjid [Sumber. Dokumentasi Afifah, 2021] Pada bagian fasad masjid, terdapat serambi sebelum memasuki area interior masjid. Deretan tiangnya dihubungkan bentuk lengkung setengah lingkaran pada bagian atasnya. Bentuk lengkung setengah lingkaran merupakan pengaruh dari arsitektural dari Timur Tengah. Pada bidang fasad diberi warna putih dan lis berwarna hijau. Warna hijau identic dengan warna pada arsitektur Islam di Indonesia. Dinding masjid menggunakan material papan kayu ulin dengan finishing cat berwarna putih. Pada elemen lantainya menggunakan tegel pada area tengah masjid dan material keramik putih polos digunakan untuk lantai di sisi samping masjid. Gambar 5. Dinding dan Lantai Masjid Kasimuddin [Sumber. Dokumentasi Afifah, 2021] Masjid memiliki bukaan berupa pintu yang disebut dengan istilah laweng. Laweng menggunakan material kayu yang menggunakan penggayaan vernakular khas Bulungan. Jenis mekanisme pintu masjid menggunakan mekanisme swing sederhana. Bukaan laweng menggunakan 2 daun pintu. Dengan laweng 2 daun pintu dapat membantu penghawaan di dalam ruangan. Masjid di Aceh memberikan pengaruh terhadap bukaannya. Namun, pada bukaan masjid di Aceh tidak terdapat daun pintu seperti di masjid ini. Model daun pintu yang digunakan merupakan pengaruh budaya Betawi. Selain pintu terdapat pula lobang angin pada bagian atas pintu. Gambar 6. Tampak Pintu/laweng Masjid Kasimuddin [Sumber. Dokumentasi Afifah, 2021] Warna cat pada bangunan menggunakan warna putih, hijau, dan kuning keemasan. Warna – warna tersebut merupakan warna khas kesultanan Bulungan dan warna yang melambangkan budaya Bulungan. Warna kuning merupakan bukti dari pengaruh budaya. Warna kuning keemasan merepresentasikan warna padi yang menguning. Warna kuning merupakan simbol dari kemakmuran dan kejayaan. Warna putih merupakan lambang dari kesucian. Warna hijau adalah warna khas Islam. Warna ini lambang dari kedekatan agama Islam dan budaya Bulungan. Gambar 7. Bentuk lengkung pada fasad serambi masjid [Sumber. Dokumentasi Afifah, 2021] Mimbar adalah tempat dengan bentuk menyerupai singgasana yang biasa digunakan oleh ulama maupun petinggi agama untuk menyampaikan dakwah Islam. Mimbar juga sering menjadi vocal point di dalam masjid. Tidak heran jika mimbar masjid sering memiliki ukiran ataupun warna yang merepresentasikan budaya setempat. Mimbar masjid menggunakan material kayu. Warna yang dipakai adalah warna kuning dan biru. Mimbar ini sangat merepresentasikan dari budaya Bulungan. Gambar 8. Mimbar Masjid Kasimuddin [Sumber. Dokumentasi Afifah, 2021] Akulturasi Budaya pada Ornamen Masjid Ornamen atau ukiran dapat ditemukan pada beberapa area interior masjid. Pada langit-langit masjid terdapat lis ukiran berisi asma’ul husna yang terdapat dalam Alqur’an. Lis ukiran ini mengelilingi area langit-langit diletakan di atas soko pendukung. Gambar 9. Ukiran pada langit – langit Masjid Kasimuddin [Sumber. Dokumentasi Afifah, 2021] Lantai menggunakan material tegel dengan motif geometri berwarna hijau. Pengaruh budaya Eropa dapat dilihat pada lantai masjid ini. Diperkirakan bahwa tegel ini didapat dari pabrik tegel cap kunci yang berasal dari kota Yogyakarta. Sehingga ada kemiripan antara lantai tegel di Yogyakarta dengan lantai tegel masjid. Pabrik ini telah didirikan oleh Louise Maria Stocker dan Jules Gerrit Commane pada tahun 1927 Dewi, 2017; Budi, 2017. Pengetahuan akan tegel diperkenalkan oleh Belanda sehingga lantai tegel pada masjid merupakan pengaruh dari Eropa. Hal ini didukung dengan kerjasama antara Belanda, Sultan Kasimuddin, dan Habib Abdullah Al – Jupri dalam bisnis pengolahan minyak di Tarakan. Gambar10. Ukiran pada Lantai Masjid Kasimuddin [Sumber. Dokumentasi Afifah, 2021] Ukiran lainnya terdapat di mihrab masjid. Ukiran yang melekat pada dinding masjid memiliki pola geometri yang membentuk ilusi flora. Warna yang digunakan adalah warna hijau, kuning, dan coklat. Warna – warna ini sangat dengan warna earth yang identik dengan kebudayaan Bulungan. Budaya Bulungan memang banyak dekat dengan alam karena Sebagian besar mata pencaharian masyarakat Bulungan mengandalkan alam. Seperti pertanian, perkebunan, hutan, dan kelautannya. Gambar 11. Ukiran pada dinding Mihrab Masjid Kasimuddin [Sumber. Dokumentasi Afifah, 2021] Pada mimbar masjid juga terdapat ukiran lainnya. Terdapat ukiran – ukiran stilasi flora pada bidang mimbar. Ornamentik flora umumnya bentuk lung-lungan. Ukiran – ukiran ini merupakan salah satu ukiran khas dari masyarakat Bulungan. Gambar 12. Ukiran pada Mimbar Masjid Kasimuddin [Sumber. Dokumentasi Afifah, 2021] KESIMPULAN Masjid Kasimuddin di Kabupaten Bulungan merupakan bukti akulturasi dari keragaman budaya di Indonesia. Walaupun suku Bulungan merupakan suku terbesar yang mendiami Kalimantan Utara, namun budayanya banyak mengadaptasi dari budaya-budaya lain baik dari daerah lain bahkan budaya bangsa lainnya. Hal ini dikarenakan masyarakat Bulungan merupakan masyarakat pesisir sehingga cenderung bersikap terbuka dan ramah dalam menerima pengaruh budaya lain. Masjid Kasimuddin merupakan bangunan peninggalan sejarah yang penting. Untuk itu harus tetap dirawat dan dilindungi sebagai aset budaya daerah Bulungan. Pemerintah setempat diharapkan dapat lebih aktif menjaga, melestarikan, serta mengembangkan cagar budaya bersejarah ini. Keterlibatan masyarakat juga dibutuhkan dalam mendukung pelestarian bangunan cagar budaya tersebut. Diharapkan masjid Kasimuddin dapat menjadi sumber inspirasi bagi arsitek dan desainer interior dalam mengembangkan desain masjid di Nusantara. DAFTAR PUSTAKA [1] Mulyana, D., & Jalaluddin, R. 2006. Komunikasi Antarbudaya. Bandung PT. Remaja Rosdakarya. [2] Al-Amri, L., & Haramain, M. 2017. Akulturasi Islam Dalam Budaya Lokal. KURIOSITAS Media Komunikasi Sosial Dan Keagamaan, 112, 87-100. [3] Ayuningrum, D. 2017. Akulturasi Budaya Cina dan Islam Dalam Arsitektur Tempat Ibadah di Kota Lasem, Jawa Tengah. Jurnal Sabda, 122, 122-135. [4] Barliana, M. Syaom. 2008. Perkembangan Arsitektur Masjid Suatu Transformasi Bentuk dan Ruang. HISTORIA Jurnal Pendidikan Sejarah, 092, 45-60. [5] Cahyandari, G,O,I. 2012. Tata Ruang dan Elemen Arsitektur pada Rumah Jawa di Yogyakarta sebagai Wujud Kategori Pola Aktivitas dalam Rumah Tangga. Jurnal Arsitektur Komposisi, 102. [6] Rahmadi. 2020. Membincang Proses Islamisasi di Kawasan Kalimantan Dari Berbagai Teori. Khazanah Jurnal Studi Islam dan Humaniora, 182, 243 – 286. [7] Rifani, A, M., & Kumayza, T, N. 2014. Hari Budaya Kabupaten Kutai Kartanegara. Jurnal ilmu Sosial Mahakam, 31, 1-18. [8] Sadono, S. & Purnomo, A. D. 2020. Akulturasi Budaya Islam dan Tionghoa Dalam Arsitektur Masjid Al Imtizaj Cikapundung Bandung. GORGA Jurnal Seni Rupa, 92, 438-443. [9] Saefullah, A. 2018. Masjid Kasunyatan Banten Tinjauan Sejarah dan Arsitektur. Jurnal Lektur Keagamaan, 161, 127 – 158. [10] Sholehah., & Christyanti, R, D. 2014. Tradisi Budaya pada Sistem Fisik Bangunan Rumah Sembau Suku Bulungan di Tanjung Palas Kalimantan Utara. PROKONS Jurnal Teknik Sipil, 102, 100-108. [11] Syamsiyah, N, R., & Muslim, A. 2018. Kajian Perbandingan Gaya Arsitektur dan Pola Ruang Masjid Surakarta dan Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta. SINEKTIKA Jurnal Arsitektur, 151. [12] Tanjung, R., Rudiansyah., & Chen, J. 2019. Masjid Lama Gang Bengkok Sebagai Simbol Multietnis Di Kota Medan. Journal of Art, Design, Education, And Culture Studies JADECS, 42, 95 – 103. [13] Zahra, F. 2017. Perpaduan gaya Arsitektur Eropa dan Timur Tengah pada Masjid Istiqlal Jakarta. Prosiding Seminar Heritage IPLBI. Cirebon, Indonesia. 219-226. [14] Dewi, F, W., & Budi, B, S. 2017. Ragam Motif dan Warna Tegel Kunci pada Keraton Yogyakarta. Prosiding Seminar Heritage IPLBI. Cirebon, Indonesia. 499 – 504. [15] Simas Kemenag. Masjid Kasimuddin. URL Diakses tanggal 6 Agustus 2021. [16] Bpcbkaltim. 2016. Masjid Kasimuddin. URL Diakses tanggal 10 Agustus 2021. [17] Muffid, M., Supriyadi, B., & Rukayah, R, S. 2014. Konsep Arsitektur Jawa dan Sunda pada Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon. MODUL, 142, 65 – 70. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication. Diah AyuningrumThe Interaction of Chinese culture and Islam has been going on since four hundred years ago. Tolerance between indigenous people, Chinese, and Moslem is well preserved until now. One of them is the architectural town of Lasem and the house in China town area - a typical Chinese style house found in Lasem. Homes, places of worship like temples are also typical Chinese style also prove the occurrence of cultural acculturation in Lasem. The roof of Masjid Jami Lasem is a major proof of acculturation between Islamic and Chinese SaefullahKasunyatan Mosque is one of the historic ancient mosques in Banten. Its existence is less popular than Masjid Agung the Great Mosque of Banten in Banten Lama, although both are one of the religious tourism destinations for Indonesian people. At the time of the Sultan Shaykh Maulana Yusuf, the second Sultan of the Sultanate of Banten, ruled between 1570-1780 AD, Kasunyatan Mosque is well known as a center of religious and scientific activities other than the Keraton Surosowan and Banten Lama. Across this mosque there is the Tomb of Sultan Shaykh Maulana Yusuf which is crowded by the public. This research paper endeavors to describe of how Kasunyatan Mosque in Banten as one of historic places of worship. The research uses historical and architectural approach in understanding and analysing data. Based on this research, it is understood that the Kasunyatan Mosque shows its ancient features in its rectangular shape, solid or massive foundations, thick walls, short mihrab, and pulpits and the Friday sermons in the form of a double-edged sword. Although it has renovated and improved, but the original structure remains visible and its authenticity is maintained. On the southwest side there is also a massive tower, as one of the hallmarks of ancient tower buildings. One of the legacies that is still passed by the present generation is in case of educative and religious function of the mosque itself as a center of religious teaching and learning in which the Madrasah Diniyah religious School and regular religious study majlis taklim is built and being carried out up to now, besides enabling for other religious activities and ceremonies such as regular religious teaching, the commemoration of Islamic Memorial Days such as Mawlid an-Nabi Celebrating Prophet Muhammad's Birthday, Isra Mi’raj, Orphans Benefit, and also the haul of Shaykh Maulana Kasunyatan, Ancient Mosque, Banten, Maulana Yusuf, Architecture, historical and architectural perspective Masjid Kasunyatan merupakan salah satu masjid kuno bersejarah di Banten. Keberadaannya kurang popular dibandingkan dengan Masjid Agung Banten di Banten Lama, meskipun dua-duanya merupakan salah satu tujuan wisata religi bagi sebagian masyarakan Indonesia. Pada masa Sultan Syekh Maulana Yusuf, sultan kedua dari Kesultanan Banten, berkuasa antara 1570-1780 M., Masjid Kasunyatan dikenal sebagai pusat kegiatan keagamaan dan keilmuan selain di sekitar Keraton Surosowan dan Banten Lama. Di seberang masjid ini terdapat Makan Sultan Syekh Maulana Yusuf tersebut yang ramai diziarahi masyarakat. Berdasarkan penelusuran, Masjid Kasunyatan memperlihatkan ciri-ciri kekunoannya pada bentuknya yang segi empat, fondasi padat atau massif, dinding tebal, mihrab pendek, dan mimbar serta tongkat khotib Jum'at berupa pedang bermata dua. Meskipun telah mengalami perbaikan, tetapi struktur aslinya tetap terlihat dan keasliannya dipertahankan. Di sisi sebelah barat daya terdapat juga menara yang massif, sebagai salah satu ciri bangunan menara kuno. Salah satu peninggalannya yang tetap diteruskan oleh generasi sekarang adalah dalam hal pemeranan fungsi pendidikan dan keagamaan, dimana Madrasah Diniyah dan pengajian rutin dibangun dan diselenggarakan, selain untuk pelaksanaan berbagai acara kegiatan keagamaan seperti peringatan hari-hari besar keagamaan, seperti Maulid Nabi Muhammad Saw., Isra Mikraj, Santunan Anak Yatim, dan juga acara haul Syekh Maulana Kunci Kasunyatan, Masjid Kuno, Banten, Maulana Yusuf, Arsitektur Gerarda Orbita Ida CahyandariTraditional houses resemble classification according to social status of the owner. Traditional house is a manifestation of symbolic and cultural meaning. Javanese traditional houses are represented in certain orders and characteristics. “Ndalem” in the form of “Joglo” is a type of high status. “Limasan” and “Kampung” are houses for medium and low status. Activities in a house reflect social inter-relationship in a family. Javanese people are categorized as patrileneal family systems that have cultural determination in domestic roles. The analysis requires historical data, pattern of activity, and architectural elements and symbols. Mapping of activities draws housing classification. “Dalems” and “joglos” have spaces to support social activity and define the roles. Houses in lower classification show balance of the social classification, Javanese traditional house, domestic rolesAbstrak Rumah tradisional mencitrakan status sosial pemilik yang juga berarti bahwa rumah tradisional memiliki makna simbolis dan kultural. Rumah trdisional Jawa diwujudkan dalam aturan dan karakteristik tertentu. Rumah “Joglo” dalam bentuk “Ndalem” berada pada status sosial pemilik yang tinggi, sedangkan Limasan dan Kampung dimiliki oleh kaum biasa dan rakyat jelata. Aktivitas dalam rumah mencerminkan hubungan social dalam suatu rumah tangga. Keluarga jawa termasuk penganut system patrilineal yang berpengaruh pada peran domestik. Analisis menggunakan data historis, pola aktivitas, dan elemen serta simbol arsitektural. Pemetaan aktivitas menunjukkan klasifikasi bangunan. Ndalem dan joglo memiliki ruang yang mendukung aktivitas dan peran sosial. Rumah dalam klasifikasi yang lebih rendah, menunjukkan peran domestik dan sosial yang kunci klasifikasi sosial, rumah tradisional Jawa, aktivitas rumah tanggaM BarlianaSyaomBarliana, M. Syaom. 2008. Perkembangan Arsitektur Masjid Suatu Transformasi Bentuk dan Ruang. HISTORIA Jurnal Pendidikan Sejarah, 092, 2020. Membincang Proses Islamisasi di Kawasan Kalimantan Dari Berbagai Teori. Khazanah Jurnal Studi Islam dan Humaniora, 182, 243 -286. Budaya Kabupaten Kutai KartanegaraA RifaniM KumayzaRifani, A, M., & Kumayza, T, N. 2014. Hari Budaya Kabupaten Kutai Kartanegara. Jurnal ilmu Sosial Mahakam, 31, Lama Gang Bengkok Sebagai Simbol Multietnis Di Kota MedanR TanjungRudiansyahJ ChenTanjung, R., Rudiansyah., & Chen, J. 2019. Masjid Lama Gang Bengkok Sebagai Simbol Multietnis Di Kota Medan. Journal of Art, Design, Education, And Culture Studies JADECS, 42, 95 Motif dan Warna Tegel Kunci pada Keraton Yogyakarta. Prosiding Seminar Heritage IPLBIF DewiW BudiDewi, F, W., & Budi, B, S. 2017. Ragam Motif dan Warna Tegel Kunci pada Keraton Yogyakarta. Prosiding Seminar Heritage IPLBI. Cirebon, Indonesia. 499 Arsitektur Jawa dan Sunda pada Masjid Agung Sang Cipta Rasa CirebonM MuffidB SupriyadiR RukayahMuffid, M., Supriyadi, B., & Rukayah, R, S. 2014. Konsep Arsitektur Jawa dan Sunda pada Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon. MODUL, 142, 65 -70.
JAKARTA, - Sejarah dan budaya di Indonesia punya kisah yang panjang. Perpaduan dan akulturasi budaya mewarnai berbagai hal di Indonesia, termasuk arsitektur bangunan, salah satunya masjid yang ada di Tanah Air menunjukkan hasil akulturasi di antaranya adalah masjid-masjid di bawah ini. Berikut 4 masjid yang menunjukkan akulturasi budaya dalam Menara Kudus DWI PUTRANTO Masjid Menara Kudus di Kelurahan Kauman, Kecamatan Kudus, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, Rabu 30/5/2018 namanya, masjid ini terletak di Kudus, Jawa yang dibangun pada 1549 ini juga disebut sebagai Masjid dalamnya terdapat makam dari Sunan Kudus, oleh karenanya masjid ini kerap dijadikan sebagai tujuan juga Menara Kudus Miliki Museum Sunan Kudus Tak seperti masjid kebanyakan yang bergaya Timur Tengah, masjid ini menampilkan corak kebudayaan pra-Islam seperti Jawa, Hindu, dan Budha. Hal itu terlihat dari menara dan gapura yang ada di sekitar Kudu dibangun menggunakan bata merah tanpa perekat. Menara ini terdiri dari 3 bagian, yakni kaki, badan, dan kepala, yang menunjukkan corak Hindu-Majapahit yang ada di Jawa.
Sosiologi Info - Apa saja ya Contoh Akulturasi Kebudayaan Hindu, Budha, Islam di Masyarakat Indonesia dalam kehidupan sehari hari ?Nah untuk menjawab pertanyaan diatas, mari simak penjelasan dibawah ini perihal topik contoh akulturasi budaya di Indonesia. Yuk baca Sekilas Penjelasan AkulturasiApa sih Akulturasi? Apakah akulturasi juga bisa terjadi antara agama yang satu dengan yang lain? Akhir-akhir ini lagi banyak yang bingung nih sama dua pertanyaan diatas? Usut punya usut rupanya konsep akulturasi itu bukan hanya konsep belaka. Tapi masyarakat kini hendak memastikan apakah akulturasi bisa terjadi juga pada agama. Robert Redfield, Ralph Linton, dan Melville J. Herskovits yang merupakan anggota subkomite tentang akulturasi yang ditunjuk Dewan Penelitian Ilmu Sosial Amerika Serikat the Social Science Research Council.Mendefenisikan akulturasi sebagai fenomena yang timbul ketika kelompok-kelompok individu yang berbeda budaya berhubungan langsung dan timbul perubahan pada budaya asli salah satu atau kedua kelompok tersebut Mulyana dan Rakhmat, 2001.Definisi tersebut setidaknya menggambarkan konsep akulturasi yang mudah untuk dipahami. Namun memang dalam disiplin sosiologi dan antropologi terjadi perdebatan antara makna akulturasi dan asimilasi. Meskipun secara teoritis dapat ditemukan suatu perbedaan tetapi pada konteks paling luar dan secara keduanya justru merujuk pada suatu interaksi antar kebudayaan sehingga mengalami perubahan baik minimal maupun Romli 2015 makna dan posisi akulturasi dalam konteks relasi antar etnik semakin jelas ketika mengemukakan makna asimilasi. Asimilasi merupakan pembauran kebudayaan sehingga terjadi suatu kebudayaan baru. Kim dalam Romli, 2015 mengatakan derajat tertinggi dalam akulturasi merupakan asimilasi. Agama dalam kajian sosiologi juga bersinggungan dengan unsur sosial lain yakni budaya. Oleh karenanya agama juga mampu mengalami akulturasi. Namun sejauh ini memang asimilasi agama selalu ditentang. Misalnya baru-baru ini ada ajaran Agama merupakan kumpulan dari beberapa agama monoteisme yang didalam ajarannya terdapat sosok atau figur abraham atau ibrahim. Terlepas dari itu, akulturasi agama-agama dalam persoalan budaya atau tata kehidupan dapat dengan mudah kita temukan di Indonesia. Sebagai negara yang multietnis dan multireligi, Indonesia tak bisa dengan mudah meredam gejolak konflik perbedaan. Hal ini wajar dan telah terjadi ribuan tahun lalu. Tapi kehadiran tokoh-tokoh dalam sejarah membuktikan perbedaan masyarakat satu dengan yang lain dapat diselesaikan dengan cara akulturasi. Islam, Hindu, dan Budha merupakan agama-agama yang mula-mula masuk ke bumi nusantara. Mereka ini membawa ajaran yang bersentuhan dengan kebudayaan asli pribumi bahkan juga saling bersentuhan antar agama. Nah apa saja contohnya?Contoh Akulturasi Hindu Budaya atau Kebudayaan Hindu, Budha, Islam1. Atap dan Menara Masjid berbentuk tumpang Kalau kita baca sejarah, atap masjid bentuk kubah yang baru hadir sekitar abad ke 18. Awalnya para penyebar Islam khususnya dipulau terlalu kaku dalam menerapkan Islam dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga mereka membangun mesjid seperti rumah dan masa itu yang mana atap masjid berbentuk tumpang bersusun sehingga terlihat berundak. Padahal bentuk tumpang mulanya dikembangkan orang-orang Hindu. Misalnya pada Masjid Agung Demak, Masjid Agung Banten, dan lain-lain. Selain Atap, menara Masjid juga terpengaruh oleh Agama pada saat itu mendominasi pulau Jawa dan Bali. Banyaknya bangunan candi yang dikunjungi sebagai pusat peribadatan dengan pernak-pernik eksentrik membuat Sunan Kudus berinisiatif mendirikan menara dengan bentuk candi pada saat itu populer berserta dinding dan “gapura candi bentar” yang mirip dengan tempat peribadatan umat Hindu. Walhasil kini Islam ikut berkembang pesat. 2. Membangun Makam Didalam Islam membangun makan seperti bangunan atau menyemennya atau bahkan memasangkan kijing diatasnya sebenarnya tidak memiliki riwayat khusus. Namun perkembangan Islam di Jawa membuat para Sunan atau Wali Songo memutar otak untuk memudahkan masyarakat yang memeluk tidak terkejut dengan perubahan total. Maka akhirnya banyak makam yang semula hanya bendungan tanah diperbolehkan untuk dibatasi papan atau batu bata lantas diberi nisan atau ukiran kaligrafi. 3. Wayang, Tembang, dan SastraMasyarakat Jawa senang dengan hiburan di malam hari. Ketimbang mereka mabuk dan main perempuan atau melakukan tindakan lain dalam falsafah mo sunan Bonang menghiburkan mereka dengan permainan wayang dan tembang yang didalamnya disusupi ajaran Islam dan nama-nama wayangnya disesuaikan dengan epik Hindu, seperti Kresna, Arjuna, Yudhistira, dll. 4. Kalender Taukah teman-teman pembaca bahwa sistem penanggalan juga hadir dalam akulturasi Hindu Islam. Pernah dengan Jumat Kliwon bulan Purnama, lebih rinci lagi kalau pernah mendengar 1 Suro? Hal ini terjadi karena disatukannya hari dalam Hindu Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon dan penanggalan Islam yang dihitung berdasarkan Bulan. Bahkan karena akulturasi ini nama bulan-bulan Jawa diserap dari dua ajaran agama ini. 5. Ajaran KejawenSebenarnya lebih dekat pada contoh asimilasi, tetapi masyarakat yang menganut paham kejawen tetap mengakui Islam atau Hindu sebagai agamanya. Jadi mereka tak mengakui Kejawen sebagai agama melainkan sebagai ajaran yang tak terpisahkan dari agama yang mereka contoh diatas, teman teman juga bisa melihat beberapa contoh dibawah ini sebagai tambahan referensi, yaitu sebagai berikut 1. Adanya bangunan arsitektur pada Masjid Demak2. Adanya sastra berupa Babad Tanah Jawa3. Adanya kesenian wayang4. Adanya makam Raja Raja Islam Mataram yang berada di Komplek Makam Imogiri5. Adanya Ilmu Tasawut6. Adanya seni ukir misalnya seperti pada kaligrafi di bangunan Kraton Yogyakarta7. Adanya Kitab Suluk8. Adanya seni pahat dan ukir pada gapura yang sering kita lihat di lingkungan masyarakat9. Selanjutnya, pada pemerintahan dengan menggunakan sistem seperti yang dilakukan oleh Hindu Buddha dengan kepala pemerintahan bergelar Dimana untuk kalender yang dibuat oleh Sultan agung dengan mengadaptasi dari kalender hijriah dengan kalender jawa. Nah itulah sekilas penjelasan dalam memahami topik materi tentang 15 Contoh Akulturasi Kebudayaan Hindu, Budha, Islam di Masyarakat Indonesia. Penulis Artikel oleh Sandewa Jopanda, Alumnus Sosiologi Universitas Riau UNRISumber Referensi Bacaan Mulyana, Deddy dan Jalaluddin Rakhmat ed.. 2001. Komunikasi Antarbudaya. Bandung PT. Remaja K. 2015. Akulturasi Dan Asimilasi Dalam Konteks Interaksi Antar Etnik. Ijtimaiyya Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam, 81,